Ikuti kami di

DPR Minta KPK Bongkar Dugaan Markup Impor Beras Rugikan Negara Rp 8,6 Triliun


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta tak tinggal diam atas kasus dugaan markup impor beras di Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Perum Bulog.

Sebab dugaan markup impor beras tersebut diduga telah merugikan negara hingga Rp8,6 triliuk. Karena itu, KPK diminta bertindak cepat melakukan penyidika atas dugaan markup impor beras.

“Kita minta KPK membongkar kasus markup impor beras ini," kata Anggota Komisi III DPR RI Santoso di Jakarta, Senin 22 Juli 2024.

"Kenapa selama ini harga beras harganya semakin melambung tinggi? Karena memang ada markup impor beras ini,” tegas Santoso.

Gerak cepat aparat penegak hukum khususnya KPK diperlukan karena markup impor beras ini diduga menimbulkan kerugian senilai Rp8,5 triliun.

“Perilaku lancung oknum yang menyengsarakan rakyat harus dihukum seberat-beratnya,” kata Santoso.

Selain mengurangi jatah makan rakyat, markup impor beras juga memicu kenaikan harga komoditas lain.

“Harga beras naik berdampak pada naiknya harga komoditas lainnya, dan daya beli rakyat juga menurun,” kata Santoso.

Diketahui, dugaan markup impor beras mencuat setelah beredarnya dokumen hasil review impor beras Bapanas-Bulog.

Anggota DPR mengusulkan dibentuknya Pansus Impor beras.

Anggota Fraksi PKS yang juga Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin mendorong DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki dugaan markup impor beras.

Pansus Impor Beras nanti akan mengawasi terhadap proses impor beras demi melindungi kepentingan rakyat Indonesia.

"Dugaan markup dalam impor beras tidak hanya mengancam stabilitas ekonomi kita tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi kita," kata Andi Akmal di Jakarta, Rabu 10 Juli 2024.

Akmal mengatakan, Pansus ini akan mengungkap kebenaran dan meminta pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang terlibat dalam kesalahan. (*)

Sumber: kilat
Foto: Ilustrasi KPK/Net

Post a Comment for "DPR Minta KPK Bongkar Dugaan Markup Impor Beras Rugikan Negara Rp 8,6 Triliun"