Ikuti kami di

Dalang Penghancuran KPK

Dalang Penghancuran KPK

SEJARAH kelak mencatat Presiden Joko Widodo adalah salah satu dalang yang menghancurkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pernah berjanji akan menguatkan gerakan antikorupsi dalam kampanye presiden 2014, Jokowi justru menjadi dirigen di balik pelemahkan dan perusakan KPK.

Niat untuk melemahkan pemberantasan korupsi sudah muncul sejak periode pertama pemerintahan Jokowi.

Pengakuan bekas Ketua KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo menguatkan sinyalemen tersebut. Dalam sebuah wawancara dengan televisi swasta, Agus mengungkapkan: Jokowi pernah meminta KPK menghentikan perkara korupsi e-KTP yang menyeret Setya Novanto.

Setya ketika itu menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Partai berlambang beringin itu baru setahun bergabung dalam koalisi partai pendukung pemerintahan Jokowi.

Intervensi Jokowi—bila benar—merupakan skandal besar. Intervensi itu bisa dibaca sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan seorang kepala negara untuk melindungi terduga pelaku kejahatan. Peristiwa itu juga menunjukkan bahwa Jokowi tidak menghormati proses hukum. Ia tak peduli terhadap pemberantasan korupsi.

Langkah Agus menolak perintah Jokowi sudah benar. UU KPK lama tidak mengenal penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Apalagi surat perintah dimulainya penyidikan kasus ini sudah diteken tiga minggu sebelumnya.

Penolakan itulah yang ditengarai turut mendorong revisi undang-undang yang mempreteli kewenangan KPK. Agar obyektif, pengakuan Agus seyogyanya ditindaklajuti dengan memanggil Jokowi dan menteri yang terlibat dalam pertemuan tersebut.

Sejumlah pendukung Jokowi sah-sah saja meragukan pengakuan Agus. Faktanya: apa yang disampaikan Agus sejalan dengan perilaku Jokowi yang kemudian membiarkan Dewan Perwakilan Rakyat mempreteli kekuatan komisi antirasuah lewat revisi kilat Undang-Undang KPK.

Sejak itu, KPK menjadi perpanjangan tangan penguasa. Lembaga antirasuah tak lagi independen. Tangan pemerintah terlalu jauh masuk ke jantung KPK. Tak heran bila pemerintahan Jokowi kemudian bisa leluasa menghela banyak proyek besar secara serampangan di periode kedua pemerintahannya.

Jokowi tak pernah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) untuk membatalkan revisi UU KPK, seperti harapan masyarakat antikorupsi.

Lebih jauh dari itu, ia membuka pintu bagi pencalonan Firli Bahuri, polisi bermasalah sebagai pucuk pimpinan KPK, yang kini ditetapkan sebagai tersangka gratifikasi dan pemerasan. Kritik masyarakat sipil terhadap sejumlah calon bermasalah tak pernah ia dengar.

Pencalonan dan pemilihan Firli juga bagian dari skenario Istana. Wajar bila Jokowi diam saja ketika Firli memberhentikan 75 pegawai KPK karena tak lolos tes wawasan kebangsaan—sebuah akal-akalan untuk menyingkirkan para penyidik andal di KPK yang selama ini menangani kasus korupsi kakap. Tes alih status kepegawaian ini merupakan langkah untuk membonsai KPK.

Dalih Firli dan pimpinan KPK yang mengedepankan pencegahan korupsi hanya omong kosong belaka. Dari rentetan peristiwa ini, keraguan para pendukung Jokowi atas pengakuan Agus menjadi tidak relevan.

Pengakuan Agus sebaliknya bisa menjadi pelajaran bagi siapa pun yang berusaha menutup-nutupi borok di pemerintahan. Di era digital dan keterbukaan, kejahatan tak bisa selamanya disembunyikan. Cepat atau lambat, penyimpangan akan terbongkar.

Dengan masifnya kekecewaan terhadap Jokowi akhir-akhir ini, bukan tidak mungkin akan ada pengakuan serupa yang membuka aib pemerintah.

Pada akhirnya, saling membuka borok akan menguntungkan bagi upaya bersih-bersih di pemerintahan. Para pejabat lain tak perlu ragu membuka borok serupa.

Pengakuan Agus serta rentetan peristiwa setelahnya semakin menguatkan sinyal bahwa KPK memang sengaja dibunuh dari dalam. Lembaga yang dulu perkasa kini terseok-seok menjadi institusi keropos. Jokowi punya andil menggerogotinya.

Sumber:
tempo➚

Post a Comment for "Dalang Penghancuran KPK"